Sunday, January 6, 2013

Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahab sebagai Pendiri Gerakan Wahabi


Latar Belakang


Sejarah Islam mencatat bahwa abad XIII M merupakan permulaan dan abad kegelapan dunia Islam yang berlangsung lebih kurang tujuh abad. Keruntuhan dunia Islam tersebut diawali dengan jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M yang sekaligus menandai tamatnya riwayat dinasti Abbasiyah. Lebih kurang lima abad kemudian, yaitu pada abad XVIII M, dunia Islam mencapai kemundurannya sampai titik terendah. Tidak hanya umat Islam, tetapi kalangan non-muslimpun merasa heran terhadap perbedaan antara umat Islam pada masa lalu dan masa kemunduran ini.
Kemunduran itu diantaranya disebabkan oleh menurunnya kekuasaan tiga kerajaan Islam yang muncul pasca-keruntuhan Abbasiyah, yaitu Kerajaan Dinasti Utsmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Akibat kemunduran tersebut, sebagian umat Islam memersepsi hal itu disebabkan oleh hal-hal berikut;
a.       Kemunduran dunia Islam terjadi karena ajaran Islam yang sudah tidak murni, tetapi ajaran yang sudah tercemar oleh unsur-unsur dari luar Islam.
b.      Untuk meraih kembali kejayaan yang pernah dicapai oleh Islam pada masa lalu, umat Islam harus memulihkan vitalitas mereka dengan kembali pada ajaran Islam yang murni, yaitu ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah.
Berdasarkan persepsi-persepsi tersebut, muncullah gerakan-gerakan pembaharuan atau pemurnian kembali ajaran agama Islam di berbagai belahan dunia Islam. Misalnya di Afrika, Timur Tengah, India, dan sebagainya dengan karakteristik yang berbeda-beda antara satu gerakan dengan gerakan lainnya.
Gerakan pembaharuan ajaran Islam yang muncul di Timur Tengah tepatnya di Saudi Arabia, dipelopori oleh Ahmad Ibn Abdul Wahab pada abad XVIII yang terkenal dengan gerakan Wahabi.


A.     Latar Belakang Kemunculan Gerakan Wahabi


Nama gerakan “Wahabi” dinisbahkan kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab, seorang yang merasa terpanggil untuk mengoreksi segala bentuk penyelewengan dan kesesatan praktik keagamaan umat islam yang terjadi pada abad XII di Semenanjung Arabia.
Istilah Wahabi sebenarnya diberikan oleh musuh-musuh aliran ini. Pengikut Muhammad bin Abdul Wahab menyebut diri mereka dengan nama Al-Muslimun atau Muwahhidun, yang berarti pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan Allah Swt. Mereka juga menyebut diri mereka sebagai pengikut mazhab Hambali atau ahl as-salaf.
Timbulnya gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari keadaan politik, perilaku keagamaan, dan sosial ekonomi umat Islam. Secara politik, umat Islam di seluruh kekuasaan Islam berada dalam keadaan yang lemah. Turki Usmani (kerajaan Ottoman) yang menjadi penguasa tunggal Islam saaat itu sedang mangalami kemunduran dalam segala bidang. Banyak daerah kekuasaannya yang melepaskan diri, terutama daerah-daerah di daratan Eropa. Kelemahan ini menyebabkantimbulnya emirat-emirat kecil yang berusaha menguasai daerah-daerah tertentu.
Selain kelemahan politik, perilaku keagamaan umat saat itu merupakan faktor yang paling mendorong munculnya gerakan Wahabi. Pada umumnya terutama di semenanjung Arabia, telah terjadi distorsi pemahaman Al-Qur’an. Semangat keilmuan yang meramaikan zaman klasik telah pudar dan digantikan dengan sikap fatalis dan kecendrungan mistis.
Tumbuh suburnya perilaku keagamaan tak bisa dilepaskan dengan taraf kesejahteraan sebagian besar umat Islam saat ini. Kekacauan politik telah menyebabkan timbulnya kejahatan di segala tempat. Sistem kabilah yang masih kental, terutama di Nejed. Wilayah bagian tengah Arab Saudi turut memberi andil bagi kemunduran dan kekacauan ekonomi mereka. Jalur-jalur perdagangan dikuasai oleh kabilah-kabilah yang kuat, sedangkan penduduk pada umumnya berada dalam kemiskinan dan kekurangan, petani dan peternakan yang merupakan mata bpencaharian mereka tidak bisa menjamin kehidupan ekonomi mereka. Hal ini disebabkan oleh keamanan yang rawan akibat peperangan dan kekacauan serta perampokan-perampokan yang dilakukan oleh kabilah-kabilah yang lainnya. Tidak ada syariat atau perundang-undangan yang secara berwibawa dapat melindungi kehidupan masyarakat, kecuali kemauan nafsu para penguasa dan pengikut-pengikutnya. Akibatnya, penduduk Nejed dan semenanjung Arab pada umumnya hidup dalam kemiskinan.
Oleh latar belakang yang seperti inilah lahir gerakan Wahabi sebagai gerakan keagamaan yang berusaha memurnikan ajaran agama Islam dari segala penyimpangan pemahaman dan praktik-praktik yang sudah dianggap keluar dari tuntutan yang sebenarnya.

B.     Biografi Muhammad Bin Abdul Wahab


Muhammad Ibn Abd. Wahab nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Abd. Wahab Sulaiman Al-Tamimiy.[1] Ia dilahirkan pada Tahun 1115 H/1703 M di Al-Uyainat daerah Najd Saudi Arabia. Ia mulai belajar agama pada ayahnya sendiri, kemudian menuntut ilmu ke Madinah dan berguru kepada beberapa Syaikh di antaranya Syaikh Sulaiman Al-Khurdi, Muhammad Al-Hayyat Al-Sind, Abdullah ibn Ibrahim, Syaikh Ali Affandy Al-Daghistani Muhammad Ibn Abd. Wahab yang dikenal dengan gerakan wahabiahnya.[2] Gerakan tersebut lahir bukan sebagai kemajuan Barat, tetapi sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang dianut oleh kebiasaan-kebiasaan yang timbul di bawah pengaruh tarekat-tarekat seperti pujaan dan kepatuhan yang berlebihan pada syaikh-syaikh tarekat, ziarah ke kuburan-kuburan wali dengan maksud meminta safaat atau pertolongan dari mereka dan sebagainya.
Pada waktu di negeri Basrah, Muhammad Bin Abdul Wahab mulai mengajak masyarakat kepada bertauhid yang sebenarnya. Akan tetapi, kemudian diantara penduduk negeri itu memberontaknya sehingga pada suatu saat dikeluarkan dari Basrah dan ini merupakan kesulitan pertama bagi hidupnya. Kesulitan lain, setelah itu menuju ke negeri Ikhsa’, kemudian kembali ke Nadj, tinggal bersama orang tuanya di (Harimla). Disana ia menyebarluaskan dasar-dasar ketauhidan, menyerukan kepada kemurnian beribadah kepada Allah semata-mata, dan memberantas segala kemungkaran. Akan tetapi, para raja (Harimla) merasa tidak senang. Mereka berunding untuk membunuhnya. Namun, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab telah mengetahui maksud jahat mereka itu.[3]
Kemudian, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab hijrah ke negeri Uyainah. Amir Uyainah, Utsman bin Ma’mar, menyambut kedatangannya dengan sambutan yang hangat dan bersepakat atas penyebaran dakwah Islamiyah. Selanjutnya, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan Amir meruntuhkan dan membongkar kubah-kubah dan masjid-masjid yang didirikan di atas kuburan para sahabat. Merekapun menebang pohon-pohon yang diagung-agungkan atau dikeramatkan orang.
Berita tentang hal tersebut telah sampai kepada Sulaiman bin Muhammad selaku Amir di Ikhsa’ maka ia menulis kepada Utsman agar segera membunuh atau mengeluarkan Syekh Abdul Wahab dari negeri itu. Dengan demikian, Utsman meminta agar Syekh Abdul Wahab segera meninggalkan negeri Uyainah.
Nasib akhirnya menggariskan Muhammad bin Abdul Wahab kembali ke kampong halamannya di Uyainah. Delapan bulan ia melakukan meditasi sebelum memulai gerakan dakwahnya. Setelah dianggap cukup, ia mulai menyosialisasikan konsep dan doktrin-doktrinnya (sebagaimana terdapat dalam buku Tauhid yang ditulisnya) secara luas.[4]

C.     Pemikiran Keagamaan Muhammad bin Abdul Wahab


Sebelum Syekh Muhammad bin Abdul Wahab muncul, keadaan kaum Muslim di Jazirah Arab sangat memprihatinkan. Baik dalam segi akidah maupun peribadatan, sudah tidak lagi sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya, bahkan kembali kepada karakter jahiliyah. Mereka telah dilanda bid’ah dan khurafat.
Ada dua inti ajaran Wahabi, yaitu pertama kembali kepada ajaran yang asli, maksudnya adalah ajaran islam yang dianut dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw, sahabat, dan para tabi’in, dan kedua prinsip yang berhubungan dengan tauhid.
Menurutnya, Allah swt semata-mata pembuat syariat dan akidah. Allah-lah yang menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah dalam agama, selain kalamullah dan Rasulullah.[5]
Dari pandangan dan pemikiran Ibn Taimiyah,[6] yang memberikan nuansa bagi gerakan pembaruan Muhammad bin Abdul Wahab adalah sebagai berikut:
1.      Ibn Taimiyah membangun pemikiran fiqhnya di atas dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan pandangan golongan salaf ash-shalih. Ia bersandar pada Sunnah Muhammad dalam memberikan syarah terhadap Al-Qur’an. Tidak mengikuti siapapun, kecuali kepada golongan salaf ash-shalih.
Dalam hal ini ia mengatakan,”Petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah terhadap ajaran pokok agama tidak sekadar berita, sebagaimana pandangan golongan ghalat, tetapi Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan petunjuk dan burhan bagi umat Islam, sekaligus merupakan dalil-dalil yang tegas mengenal pokok ajaran.”
2.      Ibn Taimiyah mempunyai perhatian yang begitu besar terhadap persoalan Tauhid dan sangat tegas dalam hal tersebut. Ia berpendapat bahwa keesaan Allah mencakup keesaan Zat dan Sifat, begitu juga dalam (keesaan) ibadah. Berkenaan dengan keesaan ibadah ini, ia menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menyekutukan-Nya. Ia juga menegaskan barangsiapa yang berdoa kepada Allah melalui perantaraan makhluk-Nya atau bersumpah atau bernadzar untuk-Nya, ia dianggap melakukan bid’ah terhadap ajaran Allah yang hak.
Berdasarkan hal tersebut, ia melarang untuk bertakarrub kepada Allah dengan perantaraan para wali atau orang-orang shaleh dan bertawasul kepada orang-orang yang sudah meninggal. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Saw.,”Sesungguhnya tidak ada permintaan kepadaku, tetapi hanya kepada Allahlah keselamatan itu diminta.” Menurutnya, meminta doa keselamatan kepada para nabi dan orang-orang shaleh tidak pernah dilakukan oleh kaum salah shaleh dan itu menjurus pada kemusyrikan. Tetapi lain halnya dengan yang masih hidup, meminta doa keselamatan kepadanya bukanlah suatu kemusyrikan.
3.      Ibn Taimiyah cenderung meninggalkan sikap berlebihan dalam cara-cara mengagungkan Rasulullah (seperti melalui pembacaan shalawat), tetapi cukup baginya mengambil petunjuk dari ajarannya. Ia memperbolehkan berziarah ke kuburan sebab ziarah kubur diperbolehkan bila dengan tujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, tetapi bila dengan tujuan meminta-minta keselamatan atau sejenisnya, tentu kemusyrikan yang nyata.
Ajaran Wahhabi terutama didasarkan atas ajaran Ibn Taimiya dan mazhab Hambali. Prinsip-prinsip dasarnya adalah:[7]
1)      Ketuhanan Yang Esa yang mutlak (kemudian penganutnya menyebut dirinya dengan nama “Mowahhidin”).
2)      Kembali pada ajaran Islam yang sejati, seperti termaktub dalam Qur’an dan Hadits.
3)      Tidak dapat dipisahkannya kepercayaan dari tindakan, seperti sembahyang dan pemberian amal.
4)      Percaya bahwa Al-Qur’an itu bukan ciptaan manusia.
5)      Kepercayaan yang nyata terhadap Al-Qur’an dan Hadis.
6)      Percaya akan takdir.
7)      Mengutuk segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar, dan
8)      Mendirikan Negara Islam berdasarkan hokum Islam secara eksklusif.
Secara Global, pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab dalam bidang fiqh dan akidah adalah sebagai berikut:
a.       Bidang Fiqh
Muhammad bin Abdul Wahab bersandar pada kitab, As-Sunnah, dan mengikuti kaum salaf as-saleh dalam mazhab fiqhnya, sedangkan beberapa masalah furu’ lainnya mengikuti mazhab Ibn Hambal. Akan tetapi, bila mendapatkan hadis yang lainnya dianggap shahih, ia berpegang pada hadis tersebut dan meninggalkan pendapat Ibn Hambal.
Mengenai keterkaitan pemikirannya dengan pemikiran Ibn Taimiyah dan Ibnul Qayyim, ia mengatakan,”Kedua imam itu adalah imam yang hak dari kalangan ahli sunnah. Kitab-kitab mereka adalah kitab-kitab yang agung. Namun, kami tidak mesti mengikutinya semuanya dalam semua masalah”.
b.      Bidang Akidah
Dalam bidang Akidah, Muhammad bin Abdul Wahab mengikuti golongan salaf, yaitu dengan mengakui dan mengimani sifat-sifat Allah sebagaimana tertera di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis shahih tanpa bagaimana (bila kaifa), dalam hal ini ia mengikuti pendapat Ibn Taimiyah bahwa mazhab salaf dan imam-imamnya adalah bmengimani sifat-sifat Allah sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, tanpa perubahan atau penafsiran arti teks yang ada, dan tanpa bagaimana menerima apa adanya makna teks tersebut, tanpa menyifatinya dengan sifat-sifat yang mirip dengan sifat makhluk-Nya sebab Allah tidak mirip atau menyerupai dengan siapapun, baik dalam zat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
c.       Bidang Tauhid
Mengenal persoalan Tauhid, Ustadz Mas’ud An-Nadwi mengatakan “Syekh Muhammad bin Abdul Wahab sangat memerhatikan masalah tauhid, baik dalam tulisan-tulisannya maupun tabligh-tablighnya, syiarnya adalah kalimat La Ilaha Illa Allah. Dimana-mana menjelaskan hal tersebut dan menjelaskan maknanya yang benar. Oleh karena itu, gerakan dakwahnyadisebut dengan gerakan pemurnian tauhid.
Berdasarkan pandangan ketauhidannya yang demikian itu, ia melihat beberapa hal yang diidentifikasikan bisa membawa pada kemusyrikan dan menjauhkan dari ketauhidan, yaitu:
1.      Berdoa kepada selain Allah untuk suatu hajat, atau berdoa kepada Allah sekaligus kepada selain-Nya.
2.      Bertawassul kepada para Nabi dan orang-orang shaleh untuk bertaqarrub kepada Allah.
3.      Meminta perlindungan kepada makhluk.
4.      Bersumpah atau bernadzar kepada selain Allah.
5.      Berziarah kubur untuk mengharap doa dan meminta syafaat kepada yang telah bmeninggal.

D.    Doktrin-doktrin Gerakan Wahabi


Secara umum, tujuan gerakan Wahabi adalah mengikis habis segala bentuk takhayul, bid’ah, khurafat, dan bentuk-bentuk penyimpangan pemikiran dan praktik keagamaan umat Islam yang dinilainya telah keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya. Dengan berorientasi pada tujuan gerakan demikian itu, ada beberapa hal yang didoktrinkan atau diajarkan dalam praktik gerakan ini, yaitu sebagai berikut:
1)      Semua objek peribadatan selain Allah adalah palsu dan siapa saja yang melakukannya pantas menerima hukuman mati.
2)      Orang-orang yang berusaha memperoleh kasih Tuhannya dengan cara mengunjungi kuburan orang-orang suci bukanlah orang-orang yang bertauhid, tetapi termasuk orang musyrik.
3)      Bertawassul kepada Nabi dan orang-orang saleh dalam berdoa kepada Allah termasuk perbuatan musyrik.
4)      Meminta syafaat kepada selain Allah termasuk perbuatan syirik.
5)      Bersumpah atau bernadzar kepada manusia, benda, atau kepada selain Allah termasuk perbuatan syirik.
6)      Termasuk perbuatan kufur bila seseorang mengakui adanya pengetahuan yang dihasulkan melalui kesimpulan-kesimpulan, rasional, dan tidak didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
7)      Termasuk perbuatan kufur bila seseorang mengingkari ketentuan (kadar) Allah terhadap segala ciptan-Nya.
8)      Menafsir atau memahami Al-Qur’an dengan ta’wil adalah indikasi ketidakpercayaan (manusia pada ajaran Allah).
Beberapa hal dari ajarannya disinyalir menyimpang dari ajaran Ibnu Hanbal adalah sebagai berikut:
1.      Shalat harus dengan cara berjamaah
2.      Merokok tembakau adalah perbuatan yang tidak dibenarkan agama dan pelakunya harus dihukum.
3.      Zakat mesti dikeluarkan atau dibayarkan untuk profesi yang keuntungannya belum jelas, seperti perdagangan. Padahal Ibnu Hanbal hanya meminta zakat mereka dari harta atau produk yang sudah jelas.















 

KESIMPULAN


Nama gerakan “Wahabi” dinisbahkan kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab, yang dilahirkan pada tahun 1115 H/1703 M di Al-Uyainat daerah Najd Saudi Arabia. Istilah Wahabi sebenarnya diberikan kalangan yang tidak simpati (musuh) bagi gerakan ini. Pengikut Muhammad bin Abdul Wahab menyebut mereka “Al-Muwahhidun” yang berarti pendukung ajaran memurnikan ketauhidan Allah. Mereka juga menyebut diri mereka sebagai pengikut mazhab Imam Ibn Hanbal atau As-Salaf.
Munculnya gerakan ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : faktor politik, perilaku keagamaan, dan sosial ekonomi umat Islam pada saat itu.
Ada dua inti ajaran Wahabi, yaitu pertama kembali kepada ajaran yang asli, maksudnya adalah ajaran islam yang dianut dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw, sahabat, dan para tabi’in, dan kedua prinsip yang berhubungan dengan tauhid.









DAFTAR PUSTAKA


Taufik, Akhmad, dkk. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. 2005. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hamid, Abdul, dkk. Pemikiran Modern dalam Islam. 2010. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ahmad, Jamil. Seratus Muslim Terkemuka. 1987. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Subhani, Syaikh Ja’far. Studi Kritis Faham Wahabi Tauhid dan Syirik. 1994. Bandung: Mizan.
Amin, Husayn Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. 1995. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.




[1] Akhmad Taufik, dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) hlm. 78.
[2] Ibid.
[3] Abdul Hamid, dkk, Pemikiran Modern dalam Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010) hlm. 104.
[4] Ibid.
[5] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995) hlm. 269.
[6] Ibid. hlm 106
[7] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987) hlm. 257.