PENDAHULUAN
Dalam
perjalanan sejarah, kebijaksanaan Muawiyah dalam menunjuk puteranya Yazid
sebagai putera mahkota telah menjadi pembeda antara kepemimpinan sebelum dan
sesudahnya. Konsep pemerintahan pada masa Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidun
sangatlah bertolak belakang dengan konsep pemerintahan yang telah diterapkan
oleh Muawiyah. Pada masa Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidun konsep pemerintahan
dijalankan secara adil dan benar menurut pandangan kaum muslimin.
Persoalan
kalam (ketuhanan) merupakan sebuah persoalan yang tidak dapat dipisahkan pada
masa pemerintahan Dinasti Umaiyah, kalaupun sebelumnya persoalan ini merupakan
pengaruh faktor politik. Salah satu cirri pendidikan Islam pada masa Dinasti
Umaiyah adalah pendidikannya berjalan secara alamiah, yaitu pendidikannya
berada atau berpusat pada ulama tanpa adanya campur tangan dari pemerintah. Dan
ilmu yang berkembang pada masa ini lebih banyak didominasi oleh ilmu-ilmu
agama.
Dalam
makalah ini penulis akan mencoba mengulas sedikit mengenai sejarah singkat mengenai Dinasti Umaiyah, profil
khalifah yang berkuasa, serta perkembangan intelektual dan pendidikan Islam
pada masa dinasti ini.
A. Sejarah singkat mengenai Dinasti Umayyah
Nama
“Daulah Umawiyah” berasal dari nama “Umaiyah ibnu ‘Abdi Syams ibnu ‘Abdi Manaf,
yaitu salah seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyah.
Umaiyah senantiasa bersaing dengan pamannya, Hasyim ibnu Abdi Manaf, untuk
merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Dan ia memang
memiliki cukup unsure-unsur yang diperlukan untuk berkuasa di zaman jahiliyah
itu, karena ia berasal dari keluarga bangsawan, serta mempunyai cukup kekayaan
dan sepuluh orang putera-putera yang terhormat dalam masyarakat. Orang-orang yang
memiliki ketiga macam unsur-unsur ini di zaman jahiliyah berarti telah
mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan.[1]
Bani
Umayyah adalah salah satu dari keluarga suku Quraisy, keturunan Umayyah bin
Abdul Syams bin Abdul Manaf. Pada umumnya sejarawan memandang negatif terhadap
Muawiyah sabagai pendiri dinasti ini, disamping cara perolehan legalitas
kekuasaannya identik dengan tipu muslihat, kelicikan juga diperkuat dengan
adanya kebijakan yang mengejutkan, yang tidak pernah dilakukan sebelumnya yaitu
pemebrlakuan system monarchihereditas (kerajaan
turun temurun). Namun demikian, kontribusi dinasti Umayyahpun tidak bisa
diabaikan, salah satunya adalah tentang ekspansi atau perluasan wilayah. Masa
khilafah umayyah diidentikkan dengan masa perluasan wilayah.
Masa
dinasti Umayyah merupakan tonggak penting perpolitikan dunia Islam. Hal ini
dikarenakan Muawiyah telah melakukan suatu kebijaksanaan yang mengejutkan semua
pihak, dimana ia telah berani menunjuk puteranya Yazid sebagai putera mahkota.
Peristiwa ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan kondisi yang ada
sebelumnya baik di masa Rasulullah maupun Khulafa’ al-Rasyidin. Dalam
perjalanan sejarah, kebijaksanaan Muawiyah ini telah menjadi pembeda antara
kepemimpinan sebelum dan sesudahnya.[2]
Kedua
konsep pemerintahan, baik pada masa Rasulullah maupun pada masa Khulafa’
al-Rasyidun sangatlah bertolak belakang dengan konsep pemerintahan yang
diterapkan pada masa sesudahnya, diawali dengan pemerintahan Dinasti Umayyah.
Proses pengangkatan khalifah pada masa Umayyah bersifat monaechiabsolute atau monarchihereditas.
Yaitu pengangkatan khalifah berdasarkan keturunan, sesama suku, sesama Bani
Umayyah.
B. Profil Khalifah
Dinasti
Umayyah yang berkuasa hampir satu abad, selama 90 tahun mempunyai 14 khalifah.
Adapun urutan khalifahnya adalah sebagai berikut:
No
|
Nama
|
Mulai
|
Berakhir
|
Lamanya
berkuasa
|
Umur
|
1
|
Muawiyah bin Abi Sufyan
|
41 H/661 M
|
60 H/671 M
|
19 tahun 3 bulan
|
80 tahun
|
2
|
Yazid bin Mu’awiyah
|
60 H/681 M
|
64 H/684 M
|
3 tahun 3 bulan
|
38 tahun
|
3
|
Muawiyah II bin Yazied
|
64 H/684 M
|
64 H/684 M
|
3 bulan
|
23 tahun
|
4
|
Marwan bin al-Hakam
|
64 H/684 M
|
65 H/684 M
|
9 bulan
|
63 tahun
|
5
|
Abdul Malik bin Marwan
|
65 H/684 M
|
86 H/705 M
|
21 tahun
|
76 tahun
|
6
|
Walid bin Abdul Malik
|
86 H/707 M
|
96 H/714 M
|
9 tahun 7 bulan
|
42 tahun
|
7
|
Sulaiman bin Abdul Malik
|
96 H/741 M
|
99 H/717 M
|
2 tahun 8 bulan
|
45 tahun
|
8
|
Umar bin Abdul Aziz
|
99 H/717 M
|
101 H/720 M
|
2 tahun 5 bulan
|
39 tahun
|
9
|
Yazid II bin Abdul Malik
|
101 H/721 M
|
105 H/724 M
|
4 tahun 1 bulan
|
40 tahun
|
10
|
Hisyam bin Abdul Malik
|
105 H/724 M
|
125 H/743 M
|
19 tahun 9 bulan
|
55 tahun
|
11
|
Walid II bin Yazid
|
125 H/743 M
|
126 H/744 M
|
1 tahun 2 bulan
|
40 tahun
|
12
|
Yazid III bin Walid
|
126 H/744 M
|
126 H/744 M
|
6 bulan
|
46 tahun
|
13
|
Ibrahim bin Walid
|
126 H/744 M
|
127 H/744 M
|
4 bulan
|
47 tahun
|
14
|
Marwan II al-Ja’diy
|
127 H/744 M
|
132 H/750 M
|
5 tahun 10 bulan
|
62 tahun
|
Profil
khalifah Dinasti Umayyah yang paling berjasa adalah sebagai berikut:
No
|
Nama
Khalifah
|
Peran
atau Jasa
|
1
|
Muawiyah
|
1 Pendiri Dinasti dan terkenal sebagai
innovator
2 Menaklukkan Tunisia, Khurasan,
sungai Oxus, Afghanistan, Kabul
3 Memperkuat angkatan bersenjata
4 Mencetak mata uang
5 Membentuk dewan ak-Hakim
|
2
|
Abdul Malik
|
1 Pendiri kedua Bani Umayyah karena
mampu menyatukan kembali wilayah Bani Umayyah setelah terjadinya banyak pemberontakan
dan pembangkangan
2 Menguasai Balkh, Bukhara, Khawarizm,
Ferghana, Samarkhand, dan India dengan menguasai Balukhistan, Sind, Punjab
dan Maltan
3 Mencetak mata uang sendiri sebagai
mata uang Persia dan Byzantium tahun 659 M
4 Menertibkan administrasi dan
menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi Pemerintahan Islam
5 Menyempurnakan tulisan Mushaf
al-Qur’an dengan membubuhkan tanda titik pada huruf tertentu
6 Memperbaiki system irigasi dengan
mengalirkan air sungai Tigris dan Eufrat sehingga kesuburan tanah terjamin
7 Membuat alat pengukur sungai Nil
8 Membangun jembatan
9 Memperluas masjid Jami Amr bin Ash
10 Penggunaan angka Arab yang menjadi
solusi perkiraan dagang, karena angka Romawi saat itu dirasa sulit kemudian
dikenal dengan Arabic Number
11 Terkenal sebagai seorang panglima
perang yang mahir dan sarjana yang mampu menyelesaikan persoalan
|
3
|
Al-Walid
|
1 Menciptakan suasana tentram
2 Melanjutkan ekspansi sampai wilayah
Afrika Utara, Spanyol dan Sind (India)
3 Memperhatikan kesejahteraan rakyat
seperti membvangun panti untuk orang cacat, mengumpulkan anak yatim,
memberikan jaminan hidup, menyediakan guru, mendirikan bangunan khusus untuk
orang kusta
4. Membangun infrastruktur negara,
seperti jalan
5 Membangun masjid Agung Damaskus dan
al-Aqsha yang masih ada hingga sekarang
|
4
|
Umar bin Abdul Aziz
|
1 Menstabilkan perpolitikan dalam
negeri berupa keberhasilan menghentikan aksi pemberontakan yang dilakukan
kaum Syiah dan Khawarij dan menghentikan celaan terhadap Ali
2 Menyamakan kedudukan muslim tanpa
memandang status
3 Mengambil kebijakan fiscal berupa
keringanan pajak sehingga banyak non muslim yang memeluk Islam
4 Melakukan perbaikan dan pembangunan
sarana pelayanan umum seperti perbaikan lahan pertanian, penggalian sumur
baru, pembangunan jalan, penyediaan tempat penginapan, dan memperbanyak
masjid
5 Menghapus berbagai formalitas
protokoler bagi yang menghadap\khalifah dan menyatakan dirinya sama
kedudukannya dengan rakyat biasa
|
5
|
Hisham
|
1 Terkenal sebagai khalifah yang
cermat dan teliti
2 Terkenal dengan negarawan yang cakap
dan ahli strategi militer yang handal
3 Memperbaiki administrasi keuangan
negara sehingga pemasukan dan pengeluaran berjalan dengan teratur tanpa
terjadi penggelapan atas uang baitul mal.
|
C. Dinamika Intelektual dan Perkembangan Pendidikan Islam
Secara
esensial, pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah hampir sama dengan
pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin, namun ada juga terdapat perbedaan.
Pada masa Dinasti Umayyah, perhatian para raja di bidang pendidikan kurang
memperlihatkan perkembangannya yang maksimal. Pendidikan berjalan tidak diatur
oleh pemerintah, melainkan oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang
mendalam. Jadi sistem pendidikan pada masa ini masih berjalan secara alamiah.[3]
Salah
satu karakteristik pendidikan Islam pada waktu itu adalah dibukanya wacana
kalam (disiplin teologi) yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Wacana
kalam tidak dapat dihindari dari perbincangan kesehariannya, meskipun wacana
ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor politis. Perbincangan ini kemudian
telah melahirkan sejumlah kelompok yang memiliki paradigm berpikir secara
mandiri.
Karena
kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politis dan golongan,
di dunia pendidikan, terutama di sastra, sangat rentan dengan identitasnya
masing-masing. Pada zaman ini juga dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan
ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu
terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia,
kedokteran, falak, tatalaksana, dan seni bangunan. Pada umumnya, gerakan
penerjemahan ini terbatas kepada orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri,
bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal,
orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid,
cucu dari Muawiyah.
Pada
masa ini juga masih mengembangkan ilmu-ilmu yang diletakkan pada masa
sebelumnya, seperti ilmu tafsir. Disampng karena luasnya kawasan Islam ke
bebrapa daerah luar Arab yang membawa konsekuensi lemahnya rasa seni sastra
Arab, juga karena banyak orang yang masuk Islam. Hal ini mengakibatkan
pencemaran bahasa al-Qur’an yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu.
Pencemaran al-Qur’an juga disebabkan oleh faktor-faktor interpretasi yang
didasarkan pada kisah-kisah Israiliyat dan Nasraniyat.
Bersamaan
dengan itu, kemajuan yang diraih pada saat itu adalah dikembangkannya ilmu
nahwu yang digunakan untuk memberikan tanda baca, pencatatan kaidah-kaidah
bahasa, dan periwayatan bahasa. Disiplin ilmu ini menjadi cirri kemajuan
tersendiri pada masa ini.
Selain
disiplin ilmu tafsir, ilmu hadis juga mendapat perhatian secara serius.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang hanya memrintah selama dua tahun, yakni tahun
99-101 H/717-720 M, pernah mengirim surat pada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amir
ibn Ham dan kepada ulama-ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan
hadis-hadis. Namun, hingga akhir pemerintahannya, hal itu tidak terlaksana.
Akan tetapi, khalifah Umar ibn Abdul Aziz telah melahirkan metode pendidikan
alternative, yakni para ulama mencari hadis ke berbagai tempat dan orang yang
dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal dengan metode rihlah.
Di
bidang hukum fiqh, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu aliran ahl al-ra’y dan aliran ahl al-hadis. Kelompok ahl
al-ra’y mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi bila terdapat masalah yang belum ditentukan hukumnya.
Aliran ini berkembang di Irak yang dimotori oleh Syuriah ibn al-Harits (w. 78
H/697 M), dan terakhir dikembangkan oleh Hammad ibn Abu Sulaiman (w. 120 H/737
M) yang kemudian menjadi guru Abu Hanifah.
Aliran
kedua, ahl al-Hadis, lebih berpegang pada dalil-dalil secara literal, bahkan
aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat al-Qur’an atau Hadis
yang menerangkannya. Diantara pelopor aliran ini adalah Ibn Syihab al-Zuhri (w.
124 H/741 M) dan Nafi’ Maula Abdullah ibn Umar (w. 117 H/735 M) yang keduanya
merupakan guru dari Imam Malik ibn Anas.
Pada
masa ini dinamika disiplin fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti.
Periode ini telah menghadirkan sejumlah mujtahid-mujtahid fiqh. Ketika akhir
masa Umayyah, telah lahir tokoh mdzhab fiqh yakni Imam Abu Hanifah di Irak
(lahir 80 H/699 M), Imam Maliuk ibn Anas di Madinah (lahir 96 H/714 M),
sedangkan Imam Syafi’I dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa Abbasiyah.
Di
antara jasa dinasti Umayyah dalam bidang pendidikan, menurut Hasan Langgulung
adalah menekankan cirri ilmiah pada masjid sehingga menjadi pusat perkembangan
ilmu perguruan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini, di masjid
diajarkan beberapa macam ilmu, diantaranya Syair, sastra, kisah-kisah bangsa
dulu, dan teologi dengan menggunakan debat. Dengan demikian, periode antara
permulaan abad kedua Hijriah sampai akhir abad ketiga Hijriah merupakan zaman
pendidikan masjid yang paling cemerlang.
Secara rinci perkembangan
intelektual pada masa dinasti Umayyah dapat digambarkan sebagai berikut:[4]
No
|
Bidang
|
Bukti
|
1
|
Kedokteran
|
1 Khalifah al-Walid telah memberikan
sumbangan berupa pemisahan antara ahli tentang penyebab penyakit dengan ahli
tentang pengobatan.
2 Khalifah Umar telah memindahkan
sekolah kedokteran dari Iskandariah ke Antiokhia dan Harra.
|
2
|
Kimia
|
Khalifah Khalid bin Yazid
memerintahkan pnerjemahan buku-buku kedokteran, kimia dan astrologi dari
bahasa Yunani dan Kopti ke dalam bahasa Arab.
|
3
|
Sejarah/Historiografi
|
1 Ubaid bin Syarya penulis sejarah
dalam bentuk sirah dan maghazi dan telah menginformasikannya ke Muawiyah
tentang pemerintahan bangsa Arab terdahulu dan asal usul ras mereka.
2 Muncul tokoh-tokoh sejarah seperti
Wahab ibnu Munabbih (w. 728 M), Kaab al-Akhbar (w. 625/654 M).
|
4
|
Arsitek
|
1 Adanya usaha untuk meningkatkan
artistik masjid dengan memasukkan seni arsitektur Yunani, Syria dan Persia.
2 Adanya relief di dinding istana dan
pemandian Khalifah al-Walid ibn Abd Malik
|
5
|
Musik dan Syair
|
1 Munculnya Said bin Miagah (w. 714 M)
orang yang pertama kali memasukkan nyanyian Persia dan Byzantium ke dalam
bahasa Arab
2 Munculnya Imran bin Hattan salah
seorang penyair masa Umaiyah
|
6
|
Aliran Keagamaan
|
1 Munculnya aliran Syiah, Khawarij,
Murjiah dan Muktazilah
2 Munculnya madrasah al-Ra’yi yaitu
kelompok yang menggunakan pemikiran dalam penetapan hokum, dan madrasah
al-Hadits, kelompok yang enggan menggunakan al-Ra’yi dalam menetapkan
perbuatan hokum.
|
KESIMPULAN
Bani
Umayyah adalah salah satu dari keluarga suku Quraisy, keturunan Umayyah bin
Abdul Syams bin Abdul Syams bin Abdul Manaf. Nama “Daulah Umawiyah” berasal
dari nama “Umaiyah ibnu ‘Abdi Syams ibnu ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari
pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyah. Umaiyah senantiasa
bersaing dengan pamannya, Hasyim ibnu Abdi Manaf, untuk merebut pimpinan dan
kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Dan ia memang memiliki cukup
unsure-unsur yang diperlukan untuk berkuasa di zaman jahiliyah itu, karena ia
berasal dari keluarga bangsawan, serta mempunyai cukup kekayaan dan sepuluh
orang putera-putera yang terhormat dalam masyarakat. Orang-orang yang memiliki
ketiga macam unsur-unsur ini di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan
untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan.
Dinasti
Umayyah yang berkuasa hampir satu abad, selama 90 tahun mempunyai 14 khalifah,
yaitu: Muawiyah bin Abi Sufyan (41-61 H/661-671 M), Yazid bin Muawiyah (60-64
H/681-684 M), Muawiyah II bin Yazid (64 H/684 M), Marwan bin al-Hakam (64-65
H/684 M), Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/684-705 M), Walid bin Abdul Malik
(86-96 H/707-714 M), Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/741-717 M), Umar bin
Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M), Yazid II bin Abdul Malik (101-105 H/721-724
M), Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M), Walid II bin Yazid (125-126
H/743-744 M), Yazid III bin Walid (126H/744 M), Ibrahim bin Walid (126-127
M/744 M), dan Marwan II al-Ja’diy (127-132 H/744-750 M).
Secara
esensial, pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah hampir sama dengan
pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin, namun ada juga terdapat perbedaan.
Pada masa Dinasti Umayyah, perhatian para raja di bidang pendidikan kurang
memperlihatkan perkembangannya yang maksimal. Pendidikan berjalan tidak diatur
oleh pemerintah, melainkan oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang
mendalam. Jadi sistem pendidikan pada masa ini masih berjalan secara alamiah.
DAFTAR PUSTAKA
Syalabi,
A. Sejarah dan Kebudayaan Islam.
1992. Jakarta: Pustaka al-Husna.
Abu Bakar, Istianarah. Sejarah Peradaban Islam untuk Perguruan
Tinggi Islam dan Umum. 2008. Malang: UIN-Malang Press.
Suwendi,
Sejarah dan Pemikiran Islam. 2004.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[1]
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992) hlm 24.
[2]
Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban
Islam untuk Perguruan Tinggi Islam dan Umum (Malang: UIN-Malang Press,
2008) hlm 44.
[3]
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Islam
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) hlm 14.
[4]
Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban
Islam untuk Perguruan Tinggi Islam dan Umum. Hlm 59