Latar Belakang
Sejarah
Islam mencatat bahwa abad XIII M merupakan permulaan dan abad kegelapan dunia
Islam yang berlangsung lebih kurang tujuh abad. Keruntuhan dunia Islam tersebut
diawali dengan jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M yang sekaligus
menandai tamatnya riwayat dinasti Abbasiyah. Lebih kurang lima abad kemudian,
yaitu pada abad XVIII M, dunia Islam mencapai kemundurannya sampai titik
terendah. Tidak hanya umat Islam, tetapi kalangan non-muslimpun merasa heran
terhadap perbedaan antara umat Islam pada masa lalu dan masa kemunduran ini.
Kemunduran
itu diantaranya disebabkan oleh menurunnya kekuasaan tiga kerajaan Islam yang
muncul pasca-keruntuhan Abbasiyah, yaitu Kerajaan Dinasti Utsmani di Turki,
Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Akibat kemunduran
tersebut, sebagian umat Islam memersepsi hal itu disebabkan oleh hal-hal
berikut;
a. Kemunduran
dunia Islam terjadi karena ajaran Islam yang sudah tidak murni, tetapi ajaran
yang sudah tercemar oleh unsur-unsur dari luar Islam.
b. Untuk
meraih kembali kejayaan yang pernah dicapai oleh Islam pada masa lalu, umat
Islam harus memulihkan vitalitas mereka dengan kembali pada ajaran Islam yang
murni, yaitu ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
Rasulullah.
Berdasarkan
persepsi-persepsi tersebut, muncullah gerakan-gerakan pembaharuan atau
pemurnian kembali ajaran agama Islam di berbagai belahan dunia Islam. Misalnya
di Afrika, Timur Tengah, India, dan sebagainya dengan karakteristik yang
berbeda-beda antara satu gerakan dengan gerakan lainnya.
Gerakan
pembaharuan ajaran Islam yang muncul di Timur Tengah tepatnya di Saudi Arabia,
dipelopori oleh Ahmad Ibn Abdul Wahab pada abad XVIII yang terkenal dengan
gerakan Wahabi.
A. Latar Belakang Kemunculan Gerakan Wahabi
Nama
gerakan “Wahabi” dinisbahkan kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab, seorang yang
merasa terpanggil untuk mengoreksi segala bentuk penyelewengan dan kesesatan
praktik keagamaan umat islam yang terjadi pada abad XII di Semenanjung Arabia.
Istilah
Wahabi sebenarnya diberikan oleh musuh-musuh aliran ini. Pengikut Muhammad bin
Abdul Wahab menyebut diri mereka dengan nama Al-Muslimun atau Muwahhidun, yang
berarti pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan Allah Swt. Mereka juga
menyebut diri mereka sebagai pengikut mazhab Hambali atau ahl as-salaf.
Timbulnya
gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari keadaan politik, perilaku keagamaan,
dan sosial ekonomi umat Islam. Secara politik, umat Islam di seluruh kekuasaan
Islam berada dalam keadaan yang lemah. Turki Usmani (kerajaan Ottoman) yang
menjadi penguasa tunggal Islam saaat itu sedang mangalami kemunduran dalam
segala bidang. Banyak daerah kekuasaannya yang melepaskan diri, terutama
daerah-daerah di daratan Eropa. Kelemahan ini menyebabkantimbulnya
emirat-emirat kecil yang berusaha menguasai daerah-daerah tertentu.
Selain
kelemahan politik, perilaku keagamaan umat saat itu merupakan faktor yang
paling mendorong munculnya gerakan Wahabi. Pada umumnya terutama di semenanjung
Arabia, telah terjadi distorsi pemahaman Al-Qur’an. Semangat keilmuan yang
meramaikan zaman klasik telah pudar dan digantikan dengan sikap fatalis dan
kecendrungan mistis.
Tumbuh
suburnya perilaku keagamaan tak bisa dilepaskan dengan taraf kesejahteraan
sebagian besar umat Islam saat ini. Kekacauan politik telah menyebabkan
timbulnya kejahatan di segala tempat. Sistem kabilah yang masih kental,
terutama di Nejed. Wilayah bagian tengah Arab Saudi turut memberi andil bagi
kemunduran dan kekacauan ekonomi mereka. Jalur-jalur perdagangan dikuasai oleh
kabilah-kabilah yang kuat, sedangkan penduduk pada umumnya berada dalam
kemiskinan dan kekurangan, petani dan peternakan yang merupakan mata
bpencaharian mereka tidak bisa menjamin kehidupan ekonomi mereka. Hal ini
disebabkan oleh keamanan yang rawan akibat peperangan dan kekacauan serta
perampokan-perampokan yang dilakukan oleh kabilah-kabilah yang lainnya. Tidak
ada syariat atau perundang-undangan yang secara berwibawa dapat melindungi
kehidupan masyarakat, kecuali kemauan nafsu para penguasa dan pengikut-pengikutnya.
Akibatnya, penduduk Nejed dan semenanjung Arab pada umumnya hidup dalam
kemiskinan.
Oleh
latar belakang yang seperti inilah lahir gerakan Wahabi sebagai gerakan
keagamaan yang berusaha memurnikan ajaran agama Islam dari segala penyimpangan
pemahaman dan praktik-praktik yang sudah dianggap keluar dari tuntutan yang
sebenarnya.
B. Biografi Muhammad Bin Abdul Wahab
Muhammad
Ibn Abd. Wahab nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Abd. Wahab Sulaiman
Al-Tamimiy.[1]
Ia dilahirkan pada Tahun 1115 H/1703 M di Al-Uyainat daerah Najd Saudi Arabia.
Ia mulai belajar agama pada ayahnya sendiri, kemudian menuntut ilmu ke Madinah
dan berguru kepada beberapa Syaikh di antaranya Syaikh Sulaiman Al-Khurdi,
Muhammad Al-Hayyat Al-Sind, Abdullah ibn Ibrahim, Syaikh Ali Affandy
Al-Daghistani Muhammad Ibn Abd. Wahab yang dikenal dengan gerakan wahabiahnya.[2]
Gerakan tersebut lahir bukan sebagai kemajuan Barat, tetapi sebagai reaksi
terhadap paham tauhid yang dianut oleh kebiasaan-kebiasaan yang timbul di bawah
pengaruh tarekat-tarekat seperti pujaan dan kepatuhan yang berlebihan pada
syaikh-syaikh tarekat, ziarah ke kuburan-kuburan wali dengan maksud meminta
safaat atau pertolongan dari mereka dan sebagainya.
Pada
waktu di negeri Basrah, Muhammad Bin Abdul Wahab mulai mengajak masyarakat
kepada bertauhid yang sebenarnya. Akan tetapi, kemudian diantara penduduk
negeri itu memberontaknya sehingga pada suatu saat dikeluarkan dari Basrah dan
ini merupakan kesulitan pertama bagi hidupnya. Kesulitan lain, setelah itu
menuju ke negeri Ikhsa’, kemudian kembali ke Nadj, tinggal bersama orang tuanya
di (Harimla). Disana ia menyebarluaskan dasar-dasar ketauhidan, menyerukan
kepada kemurnian beribadah kepada Allah semata-mata, dan memberantas segala
kemungkaran. Akan tetapi, para raja (Harimla) merasa tidak senang. Mereka
berunding untuk membunuhnya. Namun, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab telah
mengetahui maksud jahat mereka itu.[3]
Kemudian,
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab hijrah ke negeri Uyainah. Amir Uyainah, Utsman
bin Ma’mar, menyambut kedatangannya dengan sambutan yang hangat dan bersepakat
atas penyebaran dakwah Islamiyah. Selanjutnya, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab
dan Amir meruntuhkan dan membongkar kubah-kubah dan masjid-masjid yang
didirikan di atas kuburan para sahabat. Merekapun menebang pohon-pohon yang
diagung-agungkan atau dikeramatkan orang.
Berita
tentang hal tersebut telah sampai kepada Sulaiman bin Muhammad selaku Amir di
Ikhsa’ maka ia menulis kepada Utsman agar segera membunuh atau mengeluarkan
Syekh Abdul Wahab dari negeri itu. Dengan demikian, Utsman meminta agar Syekh
Abdul Wahab segera meninggalkan negeri Uyainah.
Nasib
akhirnya menggariskan Muhammad bin Abdul Wahab kembali ke kampong halamannya di
Uyainah. Delapan bulan ia melakukan meditasi sebelum memulai gerakan dakwahnya.
Setelah dianggap cukup, ia mulai menyosialisasikan konsep dan
doktrin-doktrinnya (sebagaimana terdapat dalam buku Tauhid yang ditulisnya) secara luas.[4]
C. Pemikiran Keagamaan Muhammad bin Abdul Wahab
Sebelum
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab muncul, keadaan kaum Muslim di Jazirah Arab
sangat memprihatinkan. Baik dalam segi akidah maupun peribadatan, sudah tidak
lagi sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya, bahkan kembali kepada karakter
jahiliyah. Mereka telah dilanda bid’ah dan khurafat.
Ada
dua inti ajaran Wahabi, yaitu pertama
kembali kepada ajaran yang asli, maksudnya adalah ajaran islam yang dianut dan
dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw, sahabat, dan para tabi’in, dan kedua prinsip yang berhubungan dengan
tauhid.
Menurutnya, Allah swt semata-mata pembuat syariat dan
akidah. Allah-lah yang menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak
dapat dijadikan hujah dalam agama, selain kalamullah dan Rasulullah.[5]
Dari
pandangan dan pemikiran Ibn Taimiyah,[6]
yang memberikan nuansa bagi gerakan pembaruan Muhammad bin Abdul Wahab adalah
sebagai berikut:
1. Ibn
Taimiyah membangun pemikiran fiqhnya di atas dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan
pandangan golongan salaf ash-shalih.
Ia bersandar pada Sunnah Muhammad dalam memberikan syarah terhadap Al-Qur’an.
Tidak mengikuti siapapun, kecuali kepada golongan salaf ash-shalih.
Dalam
hal ini ia mengatakan,”Petunjuk Al-Qur’an
dan As-Sunnah terhadap ajaran pokok agama tidak sekadar berita, sebagaimana
pandangan golongan ghalat, tetapi Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan petunjuk
dan burhan bagi umat Islam, sekaligus merupakan dalil-dalil yang tegas mengenal
pokok ajaran.”
2. Ibn
Taimiyah mempunyai perhatian yang begitu besar terhadap persoalan Tauhid dan
sangat tegas dalam hal tersebut. Ia berpendapat bahwa keesaan Allah mencakup
keesaan Zat dan Sifat, begitu juga dalam (keesaan) ibadah. Berkenaan dengan
keesaan ibadah ini, ia menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang
untuk menyekutukan-Nya. Ia juga menegaskan barangsiapa yang berdoa kepada Allah
melalui perantaraan makhluk-Nya atau bersumpah atau bernadzar untuk-Nya, ia
dianggap melakukan bid’ah terhadap ajaran Allah yang hak.
Berdasarkan
hal tersebut, ia melarang untuk bertakarrub kepada Allah dengan perantaraan
para wali atau orang-orang shaleh dan bertawasul kepada orang-orang yang sudah
meninggal. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Saw.,”Sesungguhnya tidak ada permintaan kepadaku, tetapi hanya kepada
Allahlah keselamatan itu diminta.” Menurutnya, meminta doa keselamatan
kepada para nabi dan orang-orang shaleh tidak pernah dilakukan oleh kaum salah
shaleh dan itu menjurus pada kemusyrikan. Tetapi lain halnya dengan yang masih
hidup, meminta doa keselamatan kepadanya bukanlah suatu kemusyrikan.
3. Ibn
Taimiyah cenderung meninggalkan sikap berlebihan dalam cara-cara mengagungkan
Rasulullah (seperti melalui pembacaan shalawat), tetapi cukup baginya mengambil
petunjuk dari ajarannya. Ia memperbolehkan berziarah ke kuburan sebab ziarah
kubur diperbolehkan bila dengan tujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada
Allah, tetapi bila dengan tujuan meminta-minta keselamatan atau sejenisnya,
tentu kemusyrikan yang nyata.
Ajaran
Wahhabi terutama didasarkan atas ajaran Ibn Taimiya dan mazhab Hambali.
Prinsip-prinsip dasarnya adalah:[7]
1) Ketuhanan
Yang Esa yang mutlak (kemudian penganutnya menyebut dirinya dengan nama
“Mowahhidin”).
2) Kembali
pada ajaran Islam yang sejati, seperti termaktub dalam Qur’an dan Hadits.
3) Tidak
dapat dipisahkannya kepercayaan dari tindakan, seperti sembahyang dan pemberian
amal.
4) Percaya
bahwa Al-Qur’an itu bukan ciptaan manusia.
5) Kepercayaan
yang nyata terhadap Al-Qur’an dan Hadis.
6) Percaya
akan takdir.
7) Mengutuk
segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar, dan
8) Mendirikan
Negara Islam berdasarkan hokum Islam secara eksklusif.
Secara
Global, pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab dalam bidang fiqh dan akidah adalah
sebagai berikut:
a. Bidang
Fiqh
Muhammad
bin Abdul Wahab bersandar pada kitab, As-Sunnah, dan mengikuti kaum salaf
as-saleh dalam mazhab fiqhnya, sedangkan beberapa masalah furu’ lainnya
mengikuti mazhab Ibn Hambal. Akan tetapi, bila mendapatkan hadis yang lainnya
dianggap shahih, ia berpegang pada hadis tersebut dan meninggalkan pendapat Ibn
Hambal.
Mengenai
keterkaitan pemikirannya dengan pemikiran Ibn Taimiyah dan Ibnul Qayyim, ia
mengatakan,”Kedua imam itu adalah imam yang hak dari kalangan ahli sunnah.
Kitab-kitab mereka adalah kitab-kitab yang agung. Namun, kami tidak mesti
mengikutinya semuanya dalam semua masalah”.
b. Bidang
Akidah
Dalam
bidang Akidah, Muhammad bin Abdul Wahab mengikuti golongan salaf, yaitu dengan
mengakui dan mengimani sifat-sifat Allah sebagaimana tertera di dalam Al-Qur’an
dan hadis-hadis shahih tanpa bagaimana (bila
kaifa), dalam hal ini ia mengikuti pendapat Ibn Taimiyah bahwa mazhab salaf
dan imam-imamnya adalah bmengimani sifat-sifat Allah sebagaimana terdapat dalam
Al-Qur’an dan hadis, tanpa perubahan atau penafsiran arti teks yang ada, dan
tanpa bagaimana menerima apa adanya makna teks tersebut, tanpa menyifatinya
dengan sifat-sifat yang mirip dengan sifat makhluk-Nya sebab Allah tidak mirip
atau menyerupai dengan siapapun, baik dalam zat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
c. Bidang
Tauhid
Mengenal
persoalan Tauhid, Ustadz Mas’ud An-Nadwi mengatakan “Syekh Muhammad bin Abdul
Wahab sangat memerhatikan masalah tauhid, baik dalam tulisan-tulisannya maupun
tabligh-tablighnya, syiarnya adalah kalimat La
Ilaha Illa Allah. Dimana-mana menjelaskan hal tersebut dan menjelaskan
maknanya yang benar. Oleh karena itu, gerakan dakwahnyadisebut dengan gerakan
pemurnian tauhid.
Berdasarkan
pandangan ketauhidannya yang demikian itu, ia melihat beberapa hal yang
diidentifikasikan bisa membawa pada kemusyrikan dan menjauhkan dari ketauhidan,
yaitu:
1. Berdoa
kepada selain Allah untuk suatu hajat, atau berdoa kepada Allah sekaligus
kepada selain-Nya.
2. Bertawassul
kepada para Nabi dan orang-orang shaleh untuk bertaqarrub kepada Allah.
3. Meminta
perlindungan kepada makhluk.
4. Bersumpah
atau bernadzar kepada selain Allah.
5. Berziarah
kubur untuk mengharap doa dan meminta syafaat kepada yang telah bmeninggal.
D. Doktrin-doktrin Gerakan Wahabi
Secara
umum, tujuan gerakan Wahabi adalah mengikis habis segala bentuk takhayul,
bid’ah, khurafat, dan bentuk-bentuk penyimpangan pemikiran dan praktik
keagamaan umat Islam yang dinilainya telah keluar dari ajaran Islam yang
sebenarnya. Dengan berorientasi pada tujuan gerakan demikian itu, ada beberapa
hal yang didoktrinkan atau diajarkan dalam praktik gerakan ini, yaitu sebagai
berikut:
1) Semua
objek peribadatan selain Allah adalah palsu dan siapa saja yang melakukannya
pantas menerima hukuman mati.
2) Orang-orang
yang berusaha memperoleh kasih Tuhannya dengan cara mengunjungi kuburan
orang-orang suci bukanlah orang-orang yang bertauhid, tetapi termasuk orang
musyrik.
3) Bertawassul
kepada Nabi dan orang-orang saleh dalam berdoa kepada Allah termasuk perbuatan
musyrik.
4) Meminta
syafaat kepada selain Allah termasuk perbuatan syirik.
5) Bersumpah
atau bernadzar kepada manusia, benda, atau kepada selain Allah termasuk
perbuatan syirik.
6) Termasuk
perbuatan kufur bila seseorang mengakui adanya pengetahuan yang dihasulkan
melalui kesimpulan-kesimpulan, rasional, dan tidak didasarkan pada Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
7) Termasuk
perbuatan kufur bila seseorang mengingkari ketentuan (kadar) Allah terhadap
segala ciptan-Nya.
8) Menafsir
atau memahami Al-Qur’an dengan ta’wil adalah indikasi ketidakpercayaan (manusia
pada ajaran Allah).
Beberapa
hal dari ajarannya disinyalir menyimpang dari ajaran Ibnu Hanbal adalah sebagai
berikut:
1. Shalat
harus dengan cara berjamaah
2. Merokok
tembakau adalah perbuatan yang tidak dibenarkan agama dan pelakunya harus
dihukum.
3. Zakat
mesti dikeluarkan atau dibayarkan untuk profesi yang keuntungannya belum jelas,
seperti perdagangan. Padahal Ibnu Hanbal hanya meminta zakat mereka dari harta
atau produk yang sudah jelas.
KESIMPULAN
Nama
gerakan “Wahabi” dinisbahkan kepada
Muhammad Ibn Abdul Wahab, yang dilahirkan pada tahun 1115 H/1703 M di
Al-Uyainat daerah Najd Saudi Arabia. Istilah Wahabi sebenarnya diberikan
kalangan yang tidak simpati (musuh) bagi gerakan ini. Pengikut Muhammad bin
Abdul Wahab menyebut mereka “Al-Muwahhidun”
yang berarti pendukung ajaran memurnikan ketauhidan Allah. Mereka juga menyebut
diri mereka sebagai pengikut mazhab Imam Ibn Hanbal atau As-Salaf.
Munculnya
gerakan ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : faktor
politik, perilaku keagamaan, dan sosial ekonomi umat Islam pada saat itu.
Ada
dua inti ajaran Wahabi, yaitu pertama
kembali kepada ajaran yang asli, maksudnya adalah ajaran islam yang dianut dan
dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw, sahabat, dan para tabi’in, dan kedua prinsip yang berhubungan dengan
tauhid.
DAFTAR PUSTAKA
Taufik, Akhmad, dkk. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam.
2005. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hamid, Abdul, dkk. Pemikiran Modern dalam Islam. 2010. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ahmad, Jamil. Seratus Muslim Terkemuka. 1987. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Subhani,
Syaikh Ja’far. Studi Kritis Faham Wahabi Tauhid dan Syirik. 1994.
Bandung: Mizan.
Amin, Husayn
Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. 1995. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
[1]
Akhmad Taufik, dkk, Sejarah Pemikiran dan
Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) hlm. 78.
[2]
Ibid.
[3]
Abdul Hamid, dkk, Pemikiran Modern dalam
Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010) hlm. 104.
[4]
Ibid.
[5]
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh
dalam Sejarah Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995) hlm. 269.
[6]
Ibid. hlm 106
[7]
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987) hlm. 257.
0 comments:
Post a Comment